BAB 8
PERTENTANGAN SOSIAL DAN
INTEGRASI MASYARAKAT
A. Perbedaan Kepentingan
Kepentingan merupakan dasar dari
timbulnya tingkah laku individu. Individu bertingkah laku karena adanya
dorongan untuk memenuhi kepentingannya. Kepentingan ini sifatnya esensial bagi
kelangsungan hidup individu itu sendiri, jika individu berhasil memenuhi
kepentingannya, maka ia akan merasakan kepuasan dan sebaliknya kegagalan dalam
memenuhi kepentingan akan menimbilkan masalah baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya.
Dengan berpegang prinsip bahwa
tingkah laku individu merupakan cara atau alat dalam memenuhi kebutuhannya,
maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat pada
hakikatnya merupakan kepuasan pemenuhan dari kepentingan tersebut.
Oleh karena individu mengandung arti
bahwa tidak ada dua orang yang sama persis dalam aspek-aspek pribadinya, baik
jasmani maupun rohani, maka dengan sendirinya timbul perbedaan individu dalam
hal kepentingannya.
Perbedaan kepentingan itu antara lain berupa :
1. kepentingan individu untuk memperoleh
kasih sayang
2. kepentingan individu untuk memperoleh
harga diri
3. kepentingan individu untuk memperoleh
penghargaan yang sama
4. kepentingan individu untuk memperoleh
prestasi dan posisi
5. kepentingan individu untuk dibutuhkan
orang lain
6. kepentingan individu untuk memperoleh
kedudukan di dalam kelompoknya
7. kepentingan individu untuk memperoleh
rasa aman dan perlindungan diri
8. kepentingan individu untuk memperoleh
kemerdekaan diri.
Kenyataan-kenyataan seperti itu
menunjukkan ketidakmampuan suatu ideologi mewujudkan idealisme yang akhirnya
akan melahirkan kondisi disintegrasi atau konflik. Permasalahan utama dalam
tinjauan konflik ini adalah adanya jarak yang terlalu besar antara harapan
dengan kenyataan pelaksanaan dan hasilnya kenyataan itu disebabkan oleh sudut
pandang yang berbeda antara pemerintah atau penguasa sebagai pemegang kendali
ideologi dengan berbagai kelompok kepentingan sebagai sub-sub ideologi.
Perbedaan kepentingan ini tidak secara langsung menyebabkan
terjadinya konflik tetapi mengenal beberapa fase yaitu:
1. fase disorganisasi yang terjadi
karena kesalahpahaman.
2. fase dis-integrasi yaitu pernyataan
tidak setuju.
fase dis-integrasi ini memiliki tahapan (Menurut Walter W.
Martin dkk):
-
ketidaksepahaman
anggota kelompok tentang tujuan yang dicapai.
-
norma
sosial tidak membantu dalam mencapai tujuan yang disepakati.
-
norma
yang telah dihayati bertentangan satu sama lain.
-
sanksi
sudah menjadi lemah
-
tindakan
anggota masyarakat sudah bertentangan dengan norma kelompok.
B. Prasangka, Diskriminasi dan Etnosentris
Prasangka
Prasangka atau prejudice berasal dari
kata latian prejudicium, yang pengertiannya sekarang mengalami perkembangan
sebagia berikut :
semula diartikan sebagai suatu
presenden, artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang lalu dalam
bahas Inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa penelitian dan
pertimbangan yagn cermat, tergesa-gesa atau tidak matang untuk mengatakan
prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur-unsur emosilan (suka atau tidak suka)
dalam keputusan yang telah diambil tersebut
Dalam konteks rasial, prasangka
diartikan:”suatu sikap terhadap anggota kelompok etnis atau ras tertentu, yang
terbentuk terlalu cepat tanpa suatu induksi ”. Dalam hal ini terkandung suatu
ketidakadilan dalam arti sikap yang diambilkan dari beberapa pengalaman dan
yang didengarnya, kemudian disimpulkan sebagai sifat dari anggota seluruh
kelompok etnis.
Prasangka (prejudice) diaratikan
suatu anggapan terhadap sesuatu dari seseorang bahwa sesuatu itu buruk dengan
tanpa kritik terlebih dahulu. Baha arab menyebutnya “sukhudzon”. Orang, secara
serta merta tanpa timbang-timbang lagi bahwa sesuatu itu buruk. Dan disisi lain
bahasa arab “khusudzon” yaitu anggapan baik terhadap sesuatu.
Prasangka menunjukkan pada aspek
sikap sedangkan diskriminasi pada tindakan. Menurut Morgan (1966) sikap adalah
kecenderungan untuk merespon baik secara positif atau negarif terhadap orang,
obyek atau situasi. Sikap seseorang baru diketahui setelah ia bertindak atau
beringkah laku. Oleh karena itu bisa saja bahwa sikap bertentangan dengan
tingkah laku atau tindakan. Jadi prasangka merupakan kecenderungan yang tidak
nampak, dan sebagai tindak lanjutnya timbul tindakan, aksi yang sifatnya
realistis. Dengan demikian diskriminatif merupakan tindakan yang relaistis,
sedangkan prsangka tidak realistis dan hanya diketahui oleh diri individu
masing-masing.
Prasangka ini sebagian bear sifatnya
apriori, mendahului pengalaman sendiri (tidak berdasarkan pengalaman sendiri),
karena merupakan hasil peniruan atau pengoperan langsung pola orang lain.
Prasangka bisa diartikan suatu sikap yang telampau tergesa-gesa, berdasarkan
generalisasi yang terlampau cepat, sifat berat sebelah, dan dibarengi proses simplifikasi
(terlalu menyederhanakan) terhadap sesuatu realita. Dalam kehidupan sehari-hari
prasangka ini banyak dimuati emosi-emosi atau unsure efektif yang kuat.
Tidak sedikit orang yang mudah
berprasangka, namun banyak juga orang-orang yang lebih sukar berprasangka.
Mengapa terjadi perbedaan cukup menyolok ? tampaknya kepribadian dan
inteligensi, juga factor lingkungan cukup berkaitan engan munculnya prasangka.
Orang yang berinteligensi tinggi, lebih sukar berprasangka, mengapa ? karena
orang-orang macam ini berikap dan bersifat kritis. Prasangka bersumber dari
suatu sikap. Diskriminasi menunjukkan pada suatu tindakan. Dalam pergaulan
sehari-hari sikap prasangka dan diskriminasi seolah-olah menyatu, tak dapat
dipisahkan. Seseorang yagn mempunyai prasangka rasial, biasanya bertindak
diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya. Walaupun begitu, biasa saja
seseorang bertindak diskriminatof tanpa latar belakang prasangka. Demikian jgua
sebaliknya seseorang yang berprasangka dapat saja bertindak tidak diskriminatif.
Sebab-sebab timbulnya prasangka dan diskriminasi :
-
berlatar
belakang sejarah
-
dilatar-belakangi
oleh perkembangan sosio-kultural dan situasional
-
bersumber
dari factor kepribadian
-
berlatang
belakang perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama
-
Usaha-usaha
mengurangi/menghilangkan prasangka dan diskriminasi
-
Perbaikan
kondisi sosial ekonomi
-
Perluasan
kesempatan belajar
-
Sikap
terbuka dan sikap lapang
-
Diskriminasi
Diskriminasi merujuk kepada
pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini
dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat
manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan
yang lain.
Ketika seseorang diperlakukan secara
tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan
kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga
merupakan dasar dari tindakan diskriminasi.
Diskriminasi langsung, terjadi saat
hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu,
seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang
sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi
saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di
lapangan.Diskriminasi ditempat kerja
Diskriminasi dapat terjadi dalam berbagai macam bentuk:
-
dari
struktur upah,
-
cara
penerimaan karyawan,
-
strategi
yang diterapkan dalam kenaikan jabatan, atau
-
kondisi
kerja secara umum yang bersifat diskriminatif.
-
Diskriminasi
di tempat kerja berarti mencegah seseorang memenuhi aspirasi profesional
dan pribadinya tanpa mengindahkan prestasi yang dimilikinya.
Teori statistik diskriminasi berdasar
pada pendapat bahwa perusahaan tidak dapat mengontrol produktivitas pekerja
secara individual. Alhasil, pengusaha cenderung menyandarkan diri pada
karakteristik-karakteristik kasat mata, seperti ras atau jenis kelamin, sebagai
indikator produktivitas, seringkali diasumsikan anggota dari kelompok tertentu
memiliki tingkat produktivitas lebih rendah.
·
Etnosentris
Etnosentrisme cenderung
memandang rendah orang-orang yang dianggap asing, etnosentrisme memandang dan
mengukur budaya asing dengan budayanya sendiri. “ ( The Random House Dictionary
).
Ada satu suku Eskimo yang menyebut
diri mereka suku Inuit yang berarti “penduduk sejati” [Herbert, 1973, hal.2].
Sumner menyebutkan pandangan ini sebagai etnosentrisme, yang secara formal
didefinisikan sebagai “pandangan bahwa kelompoknya sendiri” adalah pusat
segalanya dan semua kelompok lain dibandingkan dan dinilai sesuai dengan
standar kelompok tadi [Sumner, 1906, hal.13]. Secara kurang formal
etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan
kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik.
Etnosentrisme terjadi jika
masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur dengan
kebudayaan lain. Porter dan Samovar mendefinisikan etnosentrisme seraya
menuturkan, “Sumber utama perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme,
yaitu kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan
kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk
penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin dekat mereka dengan
kita; makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita. Kita cenderung
melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang paling
baik, sebagai yang paling bermoral.”
Etnosentrisme membuat kebudayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan budaya kita. Ini dinyatakaan dalam ungkapan : “orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras yang unggul”, dan sebagainya. Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris pada orang lain dan lambat mengenalinya pada diri sendiri.
Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah sangat etnosentris untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri. Kadang-kadang dipercaya bahwa ilmu sosial telah membentuk kaitan erat antara pola kepribadian dan etnosentrisme.
Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan belajar dan berprestasi. Dalam buku The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam proses belajar-mengajar.
Etnosentrisme akan terus marak apabila pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru akan makin meninggalkan etnosentrisme. Kelompok semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan dengan cerah.
Etnosentrisme membuat kebudayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan budaya kita. Ini dinyatakaan dalam ungkapan : “orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras yang unggul”, dan sebagainya. Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris pada orang lain dan lambat mengenalinya pada diri sendiri.
Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah sangat etnosentris untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri. Kadang-kadang dipercaya bahwa ilmu sosial telah membentuk kaitan erat antara pola kepribadian dan etnosentrisme.
Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan belajar dan berprestasi. Dalam buku The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam proses belajar-mengajar.
Etnosentrisme akan terus marak apabila pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru akan makin meninggalkan etnosentrisme. Kelompok semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan dengan cerah.
Etnosentrisme mungkin memiliki daya tarik karena faham tersebut
mengukuhkan kembali “keanggotaan” seseorang dalam kelompok sambil memberikan
penjelasan sederhana yang cukup menyenangkan tentang gejala sosial yang pelik.
Kalangan kolot, yang terasing dari masyarakat, yang kurang berpendidikan, dan
yang secara politis konservatif bisa saja bersikap etnosentris, tetapi juga
kaum muda, kaum yang berpendidikan baik, yang bepergian jauh, yang berhaluan
politik “kiri” dan yang kaya [Ray, 1971; Wilson et al, 1976]. Masih dapat
diperdebatkan apakah ada suatu variasi yang signifikan, berdasarkan latar
belakang sosial atau jenis kepribadian, dalam kadar etnosentris seseorang.
C.
Pertentangan Sosial Ketegangan Masyarakat
Konflik mengandung pengertian tingkah laku yang lebih luas
daripada yang biasa dibayangkan orang dengan mengartikannya sebagai
pertentangan yang kasar atau perang. Dalam hal ini terdapat tiga elemen dasar
yang merupakan ciri dari situasi konflik, yaitu :
1. Terdapat dua atau lebih unit-unit
atau bagian yang terlibat dalam konflik.
2. Unit-unit tersebut mempunyai
perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kebutuhan, tujuan, masalah, sikap, maupun
gagasan-gagasan.
3. Terdapat interaksi diantara
bagian-bagian yang mempunyai perbedaan tersebut.
Konflik merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi
tertentu yang sering dihubungkan dengan kebencian atau permusuhan, konflik
dapat terjadi pada lingkungan :
a.
pada
taraf di dalam diri seseorang, konflik menunjuk adanya pertentangan,
ketidakpastian atau emosi dan dorongan yang antagonistic dalam diri seseorang.
b.
pada
taraf kelompok, konflik ditimbulkan dari konflik yang terjadi dalam diri
individu, dari perbedaan pada para anggota kelompok dalam tujuan, nilai-nilai
dan norma, motivasi untuk menjadi anggota kelompok, serta minat mereka.
c.
pada
taraf masyarakat, konflik juga bersumber pada perbedaan antara nilai-nilai dan
norma-norma kelompok dengan nilai-nilai dan norma-norma dimana kelompok yang
bersangkutan berada.
Adapun cara pemecahan konflik tersebut :
1.
Elimination, pengunduran
diri dari salah satu pihak yang terlibat konflik
2.
Subjugation atau Domination,
pihak yang mempunyai kekuasaan terbesar dapat memaksa pihak lain untuk mengalah
3.
Majority
Rule, artinya suara terbanyak yang ditentukan dengan voting
4.
Minority
Consent, artinya kelompok mayoritas yang menang, namun kelompok minoritas tidak
merasa dikalahkan dan menerima keputusan serta kesepakatan untuk melakukan
kegiatan bersama
5.
Compromise,
artinya semua sub kelompok yang terlibat dalam konflik berusaha mencari dan
mendapatkan jalan tengah
6.
Integration,
artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan, dan
ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi
semua pihak
D. Golongan-Golongan
yang Berbeda dan Integrasi Sosial
Masyarakat Indonesia digolongkan
sebagai masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan
golongan sosial yang dipersatukan oleh kesatuan nasional yang berwujudkan
Negara Indonesia. Aspek-aspek dari kemasyarakatan :
- Suku bangsa dan kebudayaannya.
- Agama
- Bahasa
- Nasional Indonesia.
Masalah besar yang dihadapi Indonesia
setelah merdeka adalah integrasi diantara masyarakat yang majemuk.
Integrasi bukan peleburan, tetapi keserasian persatuan. Masyarakat majemuk
tetap berada pada kemajemukkannya, mereka dapat hidup serasi berdampingan
(Bhineka Tunggal Ika), berbeda-beda tetapi merupakan kesatuan. Adapun hal-hal
yang dapat menjadi penghambat dalam integrasi:
-
Tuntutan
penguasaan atas wilayah-wilayah yang dianggap sebagai miliknya
-
Isu
asli tidak asli, berkaitan dengan perbedaan kehidupan ekonomi antar warga
negara Indonesia asli dengan keturunan (Tionghoa,arab)
-
Agama,
sentimen agama dapat digerakkan untuk mempertajam perbedaan kesukuan
-
Prasangka
yang merupakan sikap permusuhan terhadap seseorang anggota golongan tertentu.
E. Integrasi Nasional
Integritas Nasional identik dengan
integritas bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses penyatuan atau
pembauran berbagai aspek sosial budaya ke dalam kesatuan wilayah dan
pembentukan identitas nasional atau bangsa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989)
yang harus dapat menjamin terwujudnya keselarasan, keserasian dan keseimbangan
dalam mencapai tujuan bersama sebagai suatu bangsa. Integritas nasional sebagai
suatu konsep dalam kaitan dengan wawasan kebangsaan dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berlandaskan pada aliran pemikiran/paham integralistik yang
dicetuskan oleh G.W.F. Hegl (1770-1831).
Pengertian ini berhubungan dengan
paham idealisme untuk mengenal dan memahami sesuatu harus dicari kaitannya satu
dengan yang lain. Dan untuk mengenal manusia harus dikaitkan dengan masyarakat
di sekitarnya dan untuk mengenal suatu masyarakat harus dicari kaitannya dengan
proses sejarah.
Istilah Integritas Nasional terdiri
dari dua kata yaitu “Integritas” dan “Nasional”. Istilah “integritas” mempunyai
arti “mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga
memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan” (Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia, 2005), sedangkan istilah “nasional” mempunyai arti kebangsaan,
bersifat bangsa sendiri yang meliputi suatu bangsa (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1989), berupa adat istiadat, suku, warna kulit, keturunan, agama,
budaya, wilayah/daerah. Integritas nasional wujud keutuhan prinsip moral dan
etika bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara (Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, 2008).
Setelah pengertian integrasi kita
dikupas di atas, maka disintegrasi bangsa dapat dikatakan lawan arti dari
integrasi bangsa. Disintegrasi bangsa sangat membahayakan keberadaan Negara ini
dalam percaturan kehidupan bernegara di dunia. Dapat diartikan pula kondisi
pecahnya kesatuan dan persatuan bangsa kita. Persatuan dan kesatuan ini dapat
dilihat dalam kontek kewilayahan maupun kebangsaan yang meliputi kesatuan
ekonomi, politik, social budaya, ideology dan pertahanan keamanan.
F. Pendapat
Kepentingan merupakan dasar dari
timbulnya tingkah laku individu. Individu bertingkah laku karena adanya
dorongan untuk memenuhi kepentingannya, sama halnya dengan konflik. Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik
merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat
pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok
masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri.
Banyak rakyat dan pemimpin negara
yang mempunyai argumen masing-masing untu kepentingannya. Namun Kadang juga
secara terioristis, perbedaan kepentingan dapat menimbulkan masalah yang besar
bagi orang yang melakukanya. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan
bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal,
kelompok atau pada tingkatan organisasi. Konflik ini terutama pada tingkatan
individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres. Ada pun dibawah ini yang
merupakan bagian dari faktor penyebab konflik :
- Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
- Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
- Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
- Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Namun dibalik konflik tersebut
terdapat sebuah Lubang hitam yang begitu besar yang bisa menghantui siapa saja
, dibawah ini merupakan akibat dari konflik :
- meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
- keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
- perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
- Prasangka (prejudice) diaratikan suatu anggapan terhadap sesuatu dari seseorang bahwa sesuatu itu buruk dengan tanpa kritik terlebih dahulu.
- Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
- Ethosentrisme yaitu suatu kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagaai sesuatu yang prima, terbaik, mutlak dan diepergunakan sebagai tolok ukur untuk menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain. Etnosentrisme merupakan kecenderungan tak sadar untuk menginterpretasikan atau menilai kelompok lain dengan tolok ukur kebudayaannya sendiri. Sikap etnosentrisme dalam tingkah laku berkomunikasi nampak canggung, tidak luwes.
G.
Referensi
http://dwikyreza.wordpress.com/2010/11/12/pertentangan-pertentangan-sosial-dan-integrasi-masyarakat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar